Stereotip Gen Z di Dunia Kerja: Kenapa Harus Pukul Rata?

Di era digital ini, kisah tentang Gen Z di dunia kerja sering viral di media sosial dan kerap kali membawa komentar yang negatif. Banyak yang menyebut mereka tak becus bekerja, mentalnya lemah, dan susah diatur. Namun, apakah stigma ini benar adanya? Atau cuma hasil dari generalisasi yang serampangan?

Kenapa Stigma Ini Muncul?

Cerita-cerita tentang Gen Z di dunia kerja memang sering muncul dengan nada negatif di berbagai platform media sosial. Mereka disebut-sebut tak bisa bekerja dengan baik, mudah stres, dan terlalu banyak menuntut. Tapi, benarkah semua itu? Saya berbicara dengan Seto Wicaksono, seorang HRD dari perusahaan besar di Jakarta, untuk mendapatkan pandangan profesional tentang hal ini.

Pendapat HRD: Bukan Soal Generasi, Tapi Soal Individu

Menurut Seto, penilaian bahwa Gen Z tak becus di dunia kerja adalah penilaian yang serampangan dan tidak adil. Dalam dunia kerja, ada indikator jelas untuk menilai kinerja seseorang seperti KPI dan SOP. Jadi, menyematkan stigma buruk pada satu generasi tanpa melihat individu dan konteksnya adalah hal yang tidak tepat.

“Kalau bicara soal attitude, kita juga nggak bisa main hakim sendiri terhadap Gen Z. Peran supervisor dan koordinator penting untuk membimbing mereka. Sama halnya dengan rekan kerja yang bisa saling mengingatkan dan membantu,” kata Seto. “Layaknya orang yang baru masuk dunia kerja, Gen Z juga butuh arahan dan bimbingan. Kalau salah, ya diberi tahu. Kalau benar, ya diapresiasi.”

Pengaruh Media Sosial yang Berlebihan

Seto juga menyoroti bagaimana media sosial berkontribusi terhadap stigma negatif ini. Pemberitaan tentang kinerja buruk Gen Z yang masif dan sering kali diambil mentah-mentah tanpa klarifikasi kemudian ditempelkan pada seluruh generasi. Ini tentu bukan hal yang sehat, mengingat perilaku negatif juga ada di generasi sebelumnya.

“Di generasi milenial, atau yang sebelumnya, di dunia kerja juga ada kok yang kelakuannya minus. Hanya saja, kita nggak pernah memukul rata dan menempelkan stigma negatif pada seluruh generasi,” jelas Seto.

Gen Z dan Tuntutan yang Dianggap Berlebihan

Gen Z sering dianggap banyak menuntut dan manja, terutama di media sosial. Namun, Seto berpendapat bahwa ini bukan soal menuntut, tapi karena mereka lebih melek terhadap hak-hak mereka dan lebih kritis.

“Misalnya, ada yang diminta lembur tapi menolak karena hanya dibayar dengan ucapan terima kasih atau nasi kotak. Ya wajar saja kalau mereka nggak mau,” katanya sambil tertawa.

Apakah Stigma Ini Mempengaruhi Proses Rekrutmen?

Ketika ditanya apakah stigma negatif ini membuat HRD takut merekrut Gen Z, Seto dengan tegas menjawab tidak. “Pada dasarnya, rekruter akan memproses berdasarkan kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan. Jadi, tidak mungkin ada bias pribadi yang mempengaruhi keputusan rekrutmen,” katanya. “Kalau ada HRD yang memaksakan tidak mau merekrut Gen Z, itu sangat disayangkan karena bisa saja mereka melewatkan kandidat potensial.”

Kata HRD Lain: Ada Sebab, Tapi Tak Bisa Digeneralisir

Mukti AW, seorang HRD dari perusahaan internasional, juga memberikan pandangannya. Menurutnya, stigma ini memang muncul bukan tanpa alasan. Ada beberapa Gen Z yang memang bermasalah, namun itu tidak bisa digeneralisir.

“Memang ada Gen Z yang bermasalah, tapi itu bukan berarti semua Gen Z seperti itu. Sama seperti generasi lainnya, ada yang bagus dan ada yang tidak,” ujar Mukti.

Kesimpulan: Jangan Generalisasi, Kenali Individunya

Dari penuturan para HRD, jelas bahwa stigma negatif terhadap Gen Z di dunia kerja tidak sepenuhnya benar. Penting untuk melihat individu dan konteksnya sebelum membuat penilaian. Media sosial memang punya pengaruh besar, namun kita harus bijak dalam menyikapi informasi yang ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published.